Cara Mudah Mengatasi Kekurangan Iodium Pada Tubuh Kita
https://blogmipa-kimia.blogspot.com/2017/12/mengatasi-kekurangan-iodium.html?m=0
Daftar Materi Kimia
Advertisement
Baca Juga:
Iodium dengan simbol kimia I adalah elemen nonlogam penting yang diperlukan tubuh dalam jumlah renik secara terus-menerus. Kekurangan iodium, khususnya pada anak-anak, sangat mengganggu pertumbuhan dan tingkat kecerdasan.
Oleh sebab itu, Unicef (badan PBB yang mengurusi kesejahteraan anak-anak) beberapa waktu silam, melalui dutanya bintang film James Bond 007, Roger Moore, pernah secara khusus datang ke Indonesia untuk mengampanyekan penggunaan garam beriodium. Hal serupa juga dilakukan Pemda Jawa Barat melalui media TVRI Bandung sekitar Februari 2003.
Iodium di alam tidak pernah ditemukan sebagai elemen tunggal, tetapi tersimpan di dalam senyawa, misalnya garam kalium hipoiodat (KIO). Dalam keadaan kering, garam ini sangat stabil sehingga bisa berumur lebih dari lima puluh tahun tanpa mengalami kerusakan. Itulah sebabnya mengapa garam KIO dipakai sebagai suplemen untuk program iodisasi garam (atau garam beriodium).
Garam beriodium mengandung 0,0025 persen berat KIO (artinya dalam 100 g total berat garam terkandung 2,5 mg KIO). Berikut ini dipaparkan cara sederhana untuk menghitung berapa banyak KIO yang dikonsumsi seseorang.
Andaikan seorang ibu rumah tangga dalam sehari memasak satu panci sup (kapasitas 2 L) dengan menggunakan dua sendok garam beriodium (misalnya dengan berat 20 g), dan tiap-tiap anggota keluarga pada hari tersebut melahap dua mangkuk (anggap volume total kuah 100 mL).
Maka, berat total garam KIO yang dikonsumsi tiap-tiap anggota keluarga itu dalam sehari (dengan asumsi tidak makan garam melalui makanan lainnya) sebesar 0,0000025 g atau 2,5 mikrogram (dari 0,0025% × 20 g × 100 mL/200 mL). Jumlah garam yang sangat kecil, namun sangat diperlukan.
|
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya apakah kesemua 2,5 mikrogram KIO tersebut masuk ke dalam tubuh? Kalau tiap-tiap keluarga memiliki kebiasaan menaburkan garam ketika hidangan telah berada di atas meja makan (tidak pada saat memasak) maka jawabannya benar.
Kenyataannya tidak demikian. Hampir semua ibu rumah tangga selalu mencampurkan garam beriodium saat memproses makanan. Kalau hal ini dilakukan, kemungkinan besar iodium yang jumlahnya sangat kecil ini telah lenyap sebagai gas selama memasak.
Secara kimiawi, fenomena tersebut dijelaskan dari proses reduksi KIO. Reaksi reduksi ini sebenarnya berlangsung sangat lambat. Namun, laju reaksi bisa dipercepat jutaan kali lipat dengan bantuan senyawa antioksidan, keasaman larutan, dan panas.
Seperti diketahui bahwa semua bahan makanan organik (hewan ataupun tanaman) selalu memiliki antioksidan, dan proses memasak selalu menggunakan panas serta terkadang ada asamnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan garam beriodium untuk ini menjadi sia-sia.
Percobaan sederhana untuk membuktikan lenyapnya iodium yaitu dengan mencampurkan garam beriodium dengan antioksidan (bisa berupa tumbukan cabai atau bawang) dan asam cuka, yang kemudian direbus. Iodium yang lepas bisa diamati dari larutan kanji sebagai indikator. Apabila berubah menjadi biru, pertanda iodium telah lepas sebagai gas.
Makanan laut
Sangat sulit mengubah kebiasaan ibu rumah tangga yang terbiasa membubuhi garam pada saat memproses makanan. Namun, program pemberian iodium masih bisa dilakukan dengan cara lain tanpa mengubah perilaku, yaitu melalui promosi penggunaan makanan laut. Kandungan iodium dalam makanan laut seperti ikan, kerang, cumi, atau rumput laut berkisar 0,0002 persen.
Keuntungan konsumsi iodium melalui makanan laut antara lain elemen iodium tersebut tidak hilang selama pemrosesan masakan. Selain itu, jumlah yang dimakan biasanya juga lebih tinggi (apabila kita mengonsumsi 50 g ikan laut, berarti iodium yang masuk setara 100 mikrogram iodium).
Mungkin ini merupakan penjelasan mengapa jarang ditemui kasus kekurangan iodium pada orang-orang Eropa. Karena sejak dulu hingga kini, mereka mempunyai kebiasaan memakan ikan laut. Setidak-tidaknya, melalui kebiasaan menyajikan ikan (tidak ada daging) sebagai menu utama pada kebanyakan restoran atau kedai-kedai di setiap hari Jumat.
Sayangnya, kebanyakan orang-orang pedalaman Indonesia tidak begitu menggemari makanan laut. Mungkin akibat kebiasaan menu ikan tidak ada, daya beli rendah, atau alergi. Namun, masalah ini masih bisa diatasi dengan mengganti ikan laut dengan rumput laut.
Jepang merupakan negara terdepan dalam konsumsi rumput laut, dan kasus kekurangan iodium juga sangat rendah di negara tersebut. Di sana, rumput laut diproses menjadi anyaman halus yang disebut nori. Nori ini dipakai sebagai berbagai pembungkus makanan, misalnya nasi kepal (onigiri) atau sushi.
Selain itu, juga dipakai sebagai campuran penyedap rasa pada mi rebus, seperti ramen atau soba. Mungkin seandainya kita mau meniru, misalnya daun pisang pembungkus lemper diganti lembaran rumput laut, atau mi bakso maupun mi pangsit dibubuhi penyedap dari rumput laut, maka kasus kekurangan iodium akan berkurang di negeri ini. Pentradisian penggunaan makanan laut hendaknya terus digalakkan karena lebih dari 70 persen dari luas wilayah negeri ini berupa laut.